14 Agustus 2013

Review Perjalanan Arus Balik Lebaran 1434 H / 2013 M

Mohon maaf lahir batin, Taqobalallahu minna wa minkum sebelumnya buat para pembaca sekalian.

Pada lebaran kali ini, Jalibang berada di Tegal, untuk mengurus proses pindah jiwa ke Samsat Jawa Tengah Dari Bangka Belitung. Proses pindah jiwa yang cukup menguras isi dompet karena pungli-pungli yang tersamarkan di Samsat Tegal.

Sedikit cerita juga, saat proses pindah jiwa ini, untuk menggesek nomor rangka dan nomor mesin saja harus menrogoh kocek sebesar Rp. 40.000,-, duit pendaftaran Rp.5.000,- dan terakhir yang belum saya bayarkan dan STNK masih ditahan karena alsan pengecekan ke Samsat Bangka Belitung sebesar Rp.150.000,-. Kenapa saya sebut pungli, karena saya yakin, pungutan di atas tidak resmi dan tidak ada tanda terimanya, alias masuk ke kantong masing-masing oknum petugasnya. Pantas kaya mereka, sudah digaji tinggi masih aja mungut di luar ketentuan. Semoga ada pihak yang berwenang yang ikut membaca blog saya. Lah niat ke Samsat kan buat bayar pajak, uangnya digunakan untuk daerah juga, kenapa harus ada pungli, walaupun ada stiker di depan pintu masuk Samsat Tegal yang bertuliskan "No Pungli", tapi masyarakat bisa apa? Ngga mbayar ya nggak dilayani.

Ada juga aturan aneh, padahal ngga ada proses balik nama di STNK saya, hanya alamat saya saja yang pindah, tetapi ada Bea Balik Nama yang besarannya hampir Rp200ribu tercetak di STNK (lembardibalik STNK motor saya). Tidak tahu aturannya kenapa begitu. Saya tidak mempermasalahkannya lagi karena yang saya bayarkan masuk ke kas daerah, tercetak di STNK,sebagai semacam kuitansi. Yang saya pertanyakan di sini kenapa harus ada, padahal data pemilik tidak berubah, hanya alamatnya saja. Bahkan saya disuruh buat semacam kuitansi pembelian motor, dari saya ke saya. Saya yang jual, saya yang beli, lah piye iki to? kalau tidak mau bayar BBN ini, saya diwajibkan melampirkan surat pindah dari RT/RW setempat, mana sempat? kan saya pindah nya sudah lama, pak RT/RW juga belum tentu standby di rumah terus. Bagi pembaca yang akan memutasikan kendaraannya tanpa merubah nama di STNK bisa dipersiapkan dulu surat keterangan ini, lumayan menghemat sekitar Rp.193.000,- untuk ukuran motor.

Oke lanjut ke proses mudik saya. Jalibang sebelumnya sudah saya kirim via kereta melalui jasa PT Benny Putra di Stasiun Pasar Senen. Dengan jasa Rp.300.000,- alhamdulillah Jalibang sampai di Tegal dengan selamat dan disambut anak-anak saya dengan suka cita.

Jalibang disambut anak-anak saya
Anak-anak saya sangat senang melihat motor bapaknya, dan selama libur lebaran beberapa kali touring rolling city bersama Jalibang.


Libur lebaran habis, tiba lah saatnya kembali bekerja. Saya memutuskan membawa sendiri Jalibang ke Jakarta. Bismillah...

Saya berangkat Hari Ahad, 11 Agustus 2013, di hari akhir libur lebaran tanpa menambah cuti tambahan. Berangkat sengaja siang, karena ada rasa nggak tega meninggalkan anak-anak terlalu cepat. Bahkan Izzul sudah minta ikut abinya ke Jakarta pakai motor, tentu saja saya melarangnya.

Packing singkat di Ahad pagi, semua perlatan tempur sudah terpasang pada Jalibang. Baju ganti dan baju kerja selama seminggu juga sudah diangkut. Saya pun segera bersiap.

Perjalana di siang hari yang panas tidak teralalu terasa, karena terlindung dengan baik oleh jakat dan helm saya. Bersama Psepeda motor yang lain yang menuju Jakarta saya memacu Jalibang santai. tak terasa dua jam kemudian sampai di Cirebon, saya istirahat untuk sholat Asar

Saya sengaja memilih jalur tengah, karena ingin merasakan sensasi lain saat perjalanan kali ini.


Lihat Peta Lebih Besar

Saya beristirahat di dekat Palimanan. rute mudik saya Palimanan lurus saja ke Arah Bandung, melewati Jatiwangi. Jalan menuju Jatiwangi, daerah penghasil genteng, ini cukup mulus, jauh lebih mulus saat saya melewatinya dua tahun lalu. Aspal terlihat masih baru, demikian pula jalan di pedalaman ke arah Cikamurang-Subang, betonan sudah jadi dan sangat mulus, hanya rambu-rambu dan marka jalan saja yang belum lengkap terpasang semua. Tapi saya patut mengacungkan jempol buat Pemerintah Jawa Barat yang mengusahakan perbaikan jalan ini.

O iya, sesampainya di Kadipaten, saya di arahkan pak Polisi ke arah kanan, jalur alternatif yang sangat mulus dan, hati-hati, cukup sempit buat kendaraan roda empat atau lebih.

mulus, tapi sempit
membelah persawahan, menjelang maghrib
Di jalan lurus yang pernah saya sebut sebagai jalan lurus terpanjang di postingan sebelumnya, hari telah memasuki waktu Maghrib, jalan sempit berubah menjadi gelap. Jalan menuju Kota Subang yang melewati hutan, masih belum dihaluskan, masih bergelombang dan bumpy. Bahkan saya bertemu dengan dua pengendara motor yang salah satunya bannya bocor, mungkin karena nggak sanggup menahan goncangan di jalan jelek tersebut. Karena situasi gelap dan ada temannya, saya hanya berhenti sebentar sekedar menunjukkan simpati saya dan menawarkan bantuan.

Menjelang Kota Subang, saya mengisi perut Jalibang dengan pertamax, Rp.43.000,- cukup mengenyangkan bagi Jalibang. Sampai Kota Subang, waktu menunjukkan waktu Sholat Isya, saya berhenti di suatu Masjid besar di pinggiran Kota Subang, masjid khas jaman Pak Harto, Masjidnya Yayasan Amal Muslim Pancasila yang bentuknya seragam di seluruh Indonesia.

Agak Lama saya berhenti di Subang, walau tidak masuk kotanya, hanya berhenti di Alfamart pinggir jalan dan beli minuman dan makan bekal yang dibawakan istri saya. Waktu saat itu menunjukkan pukul 20.30 saat saya meninggalkan alfamart tersebut untuk kembali lanjut.

Sepanjang jalan menuju Purwakarta, tepatnya Sadang, saya banyak mengambil jalur kanan yang memang agak sepi. Sesekali balik ke jalur semula jika ada kendaraan di depan. Antrian mobil mengular nggak tahu sepanjang apa, tapi saya yakin sangat panjang. Tidak macet, hanya berjalan pelan.

Rupanya ada bis mogok di lajur kanan, pantesan kendaraan dari arah kanan cenderung sepi dan yang kiri berjalan lambat, ternyata mungkin jalan bergantian melewati bus mogok tersebut., di samping karena memang volume kendaraan saat itu saya kira jauh lebih banyak dari biasanya.

Sadang hingga Cikampek saya lewati tanpa berhenti, motor sudah jauh berkurang. Mobil sudah masuk jalan tol. Saya sempat berhenti sebentar di pinggir jalan di sekitar Cikarang, sekedar meluruskan punggung dan menurunkan suhu mesin, ban dan moving parts Jalibang. Saya bertemu dengan pengendara Honda Tiger yang ternyata berasal dari Tegal. Berangkat dari Tegal kira-kira sama waktunya dengan saya, sekitar jam 1 - jam 2 siang.


saat beristirahat bersama dengan biker Honda Tiger dari Tegal
Memasuki Jakarta hujan rintik menemani saya berkendara. Saya sempat kesasar saat melewati Jatinegara. Seharusnya di jalur searah saya memutar ke Utara ke Jalan Matraman, saya malah lurus terus ke Selatan, melewati Cakung, bahkan hampir sampai di Kalibata. Di flyover menuju TMP Kalibata hujan turun dengan deras, memaksa saya menepi dan memasang jas hujan, jas hujan saya pasang menutupi tas pakaian saya, karena bisa berabe jika tas pakaian saya basah kuyup. Mendingan saya basah2an dengan jaket saya ketimbang beok pakai baju basah saat bekerja.

Kesempatan hujan membuat saya mereview perjalanan saya di kota Jakarta ini, ternyata saya salah arah di Jatinegara. Akhirnya saya menunggu hujan berhenti di bawah flyover yang tampaknya masih dalam tahap pekerjaan.  Hujan reda dari tadi sejak saya sadar suara hujan ini karena suara air dari atas flyover yang mengucur deras layaknya hujan, padahal hujan sudah reda.

Akhirnya saya memacu Jalibang menuju kosan saya di Kwitang. Saat saya melihat jam di HP, waktu menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Tanpa mandi saya sukses tertidur saking capeknya. Dua hari sampai saya menulis tulisan ini rasa ngantuk belum juga hilang.

Demikian perjalanan saya kali ini.

Sampai jumpa di trip report saya yang lain
Terima kasih sudah mau mampir. :)