11 Mei 2011

Refleksi Enam Tahunan (4-habis)

Enam tahun adalah waktu yang relatif singkat untuk merubah status saya dari bujangan menjadi bapak hampir dua orang anak.

Saya menikah dua tahun setelah penempatan saya ke Pulau Bangka, dengan teman satu kelas di tahun terakhir masa SMA saya.

Padahal saat sekelas dulu ngobrol saja jarang, kuliah di tempat berbeda, dan bekerja di tempat terpisah enam jam perjalanan darat dan satu jam penerbangan, dengan kadang-kadang satu dua jam saat penerbangan terlambat. Walaupun setelah menikah kami menjalani hiubungan jarak jauh.

Ini adalah pilihan kami, dengan berbagai pertimbangan. Salah satunya adalah kepastian mutasi saya termasuk kategori tidak pasti. Bisa dua sampai empat tahun bahkan lebih. Hanya Allah yang tahu kapan saya akan dipindahkan. Ini akan sangat berpengaruh jika saya membawa serta seluruh keluarga saya. Kasihan anak dan istri, karena mutasi hanya menyisakan waktu paling lama sebulan harus sudah berada di tempat baru. Jika istri ikut, saat saya mutasi pasti dia 'tertinggal' dan untuk mengurus mutasi istri saya tentu saja memerlukan waktu yang tidak sebentar. Karena istri saya berstatus PNS pemda yang jika mutasi memerlukan koordinasi dua pemda.

Tetapi itulah jodoh, kita tidak dapat menebak siapa jodoh kita. Kata orang, hanya ada dua kepastian di dunia ini, mati dan bayar pajak. Keduanya tidak dapat dihindari.

Anak pertama saya, Izzul Farisi, akan berumur tiga tahun bulan Agustus nanti. Dia tumbuh jadi anak yang sehat dan cerdas. Dia juga sangat sayang dengan calon adiknya yang masih berada dalam kandungan ibunya. Setiap malam sebelum tidur disempatkannya mengelusi perut ibunya. Bahkan saat terbangun ditengah malam pun dia mencari perut ibunya untuk dielus. Kadang, dia seolah berbicara dengan adiknya.

Izzul juga cerdas, sikapnya seperti bukan anak berumur tiga tahun. Daya ingatnya kuat, pandai menari (gara-gara suka melihat anak SD sebelah latihan menari), sudah mengerti nada dan musik, dia bisa mengikuti musik yang didengar dan bisa langsung menirunya. Dia suka menirukan tanda keberangkatan kereta api di stasiun, dengan nada yang tepat juga temponya. Tapi kalo udah rewel balik lagi deh seperti anak kecil lagi.

Ada saja tingkah lucunya yang mengundang gelak tawa orang-orang di sekelilingnya. Imajinasinya juga tumbuh bagus sekali.

Tahun lalu istri saya mendapat beasiswa melanjutkan program sarjana di kampus UI Depok. Tahun lalu juga 'seharusnya' saya juga kuliah lagi melanjutkan D4 saya. Tapi saya tidak lulus ujian psikotes. Mungkin inilah yang digariskan Allah di tangan saya. Ini mungkin yang terbaik buat saya dan keluarga saat ini.

Klo saya lulus, seharusnya kami dapat berkumpul di Jakarta. Tapi jika kumpul kondisi keuangan akan menjadi labil, karena sebagian besar take home pay saya akan dibayarkan untuk membayar cicilan yang jumlahnya tidak sedikit. Karena jika kuliah D4 yang berstatus sekolah kedinasan, tunjangan kerja saya dipotong hingga tinggal separuhnya saja.

Inilah kehidupan yang harus kami jalani. Dan kami berharap dalam setiap doa kami
sesegera dapat mungkin berkumpul seperti keluarga normal lainnya.
Published with Blogger-droid v1.6.8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar